Wanita Katolik Republik Indonesia berdiri pada 1924 atas inisiatif seorang wanita bangsawan Yogyakarta yang juga tokoh intelektual wanita saat itu. Tergerak oleh keinginan luhur yang didasari oleh cinta kasih sebagai perwujudan iman katolik, Raden Ajeng Maria Soelastri Soejadi Sasraningrat Darmaseputra (adik kandung Nyi Hajar Dewantara) mendirikan perkumpulan ibu-ibu Katolik Pribumi. Keinginan beliau saat itu mendapat dukungan dari Pastor Van Driesche, SJ yang banyak memberikan masukan mengenai teknik berorganisasi, rekruitmen anggota dan pengembangan misi perkumpulan dengan mengajak para pengurus melihat kebutuhan umat Gereja, terutama kebutuhan kaum wanita katoliknya.
Pada 26 Juni 1924 Perkumpulan Ibu-ibu Katolik resmi berdiri dan pengurus pertamanya adalah:
Ketua | Ibu R. Ay. C. Hardjadiningrat |
Penulis | Ibu Th. Soebirah Hardjosoebroto |
Bendahara | Ibu C. Moerdoatmodjo |
Pada awalnya perkumpulan ini beranggotakan guru-guru putri dan karyawan wanita pabrik cerutu “Negresco”. Perkumpulan ini mendapat sambutan baik dari ibu-ibu katolik lainnya bahkan kalangan Gereja (hirarki) memberikan dukungan, paling tidak memberikan kesempatan para pengurus dan anggota perkumpulan untuk bersama-sama memperjuangkan kehidupan jemaat Katolik.
Misi utama perkumpulan ini adalah meningkatkan kemampuan wanita dari segi intelektual dengan mengajarkan membaca dan menulis serta menyediakan bahan bacaan yang semakin membuka wawasan pengetahuan wanita saat itu.
Perkumpulan ini cepat berkembang dan meluas khususnya di kota-kota Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Untuk memantapkan perkumpulan yang berkembang terus, pada 1930 diselenggarakan Konferensi Pertama di Yogyakarta dengan keputusan yang sangat penting, yaitu:
Menetapkan nama perkumpulan, yaitu Poesara Wanita Katolik
Mensahkan Anggaran Dasar (dalam bahasa Jawa)
Konferensi berikutnya di Solo pada 1934 mengubah nama organisasi menjadi Pangreh Ageng Wanita Katolik dan menyempurnakan anggaran dasar yang masih dalam bahasa Jawa.
Seiring dengan perkembangan zaman, organisasi Wanita Katolik bekerja sama juga dengan organisasi-organisasi wanita lainnya yang juga tumbuh pesat di tanah air. Terlibat dengan perjuangan bangsa dalam skala nasional bahkan internasional. Jaringan organisasi ini cepat meluas dan sangat dikenal karena keberanian bersikap dalam menyuarakan aspirasi kaum wanita saat itu. Jaringan internasional yang mulai dibina sejak 1934 adalah dengan Rooms Katholieke Vroewn Unie. Pada 1936 dalam Kongres Wanita Sedunia di Brussel hubungan dengan organisasi wanita di luar negeri mulai diakui dengan rintisan ibu B. Kwari Sosrosoemarto. Penerbitan majalah pada 1938 banyak berisi tidak hanya hal-hal yang sifatnya domestik (meningkatkan keterampilan kewanitaan) tetapi juga yang berbau sosial politis, sehingga pada masa pendudukan Jepang, organisasi ini dilarang. Atas anjuran Pastor Jesuit yang menjadi pendamping organisasi saat itu, aktivitasnya berganti sebagai Konggregasi Maria untuk ibu-ibu. Sementara itu, kesadaran ibu-ibu membantu Gereja dan kaum lemah tumbuh subur di paroki-paroki luar Jawa, sehingga perkembangan organisasi Wanita Katolik sungguh dapat menjadi wadah yang memadai dalam menampung aspirasi dan perjuangan mereka. Dengan demikian organisasi cepat meluas.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, atas anjuran Uskup Agung Semarang, Mgr. A. Soegijapranata SJ diupayakan agar organisasi Wanita Katolik bangkit kembali sebagai organisasi sosial yang mandiri. Pada tahun itu juga bergabung dengan Partai Katolik dan menjadi pendukung partai. Pada 1949 (setelah Kongres Umat Katolik se-Indonesia/KUKSI), Ibu B. Kwari Sosrosoemarto mulai menata kembali organisasi dengan membentuk panitia persiapan untuk kebangkitan organisasi.
Konferensi I Wanita Katolik RI di Yogyakarta , Mei 1950, memutuskan pengurus baru dengan Ibu Kwari Sosrosoemarto sebagai ketua. Disahkan AD/ART yang baru serta penggunaan nama organisasi WANITA KATOLIK REPUBLIK INDONESIA.
Selanjutnya pada Kongres Wanita Katolik I pada 1952 dan Kongres II pada 1954 ditetapkan beberapa hal sebagai berikut:
- Mensahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (dalam bahasa Indonesia) (Konferensi I Wanita Katolik RI Mei 1950)
- Menetapkan Pelindung organisasi, yaitu Santa Anna (Konferensi I Wanita Katolik RI Mei 1950)
- Menetapkan Lambang organisasi (1952)
- Mendapatkan status Badan Hukum (1952)
Sesuai dengan AD/ART maka sejak 1954 kedudukan Pimpinan Pusat Wanita Katolik pindah ke Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Pasca-G30S/PKI Wanita Katolik juga memprakarsai pendirian KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia) dengan perjuangan mempertahankan Pancasila. Banyak pernyataan-pernyataan berani disuarakan oleh organisasi, sehingga Wanita Katolik sempat menjadi sorotan di antara organisasi wanita lainnya di Indonesia. Perjuangan lain Wanita Katolik yang tak akan terlupakan adalah keterlibatan aktif dalam persiapan dan sidang-sidang memperjuangkan Undang-Undang Perkawinan. Sebagai organisasi kerasulan awam yang paling mantap dan giat saat itu, Wanita Katolik sungguh menyadari bahwa Undang-Undang Perkawinan sangat penting untuk menegakkan martabat dan harkat wanita Indonesia yang lemah karena kungkungan tradisi dan stereotype yang diciptakan oleh masyarakat patriarki.
Di dalam forum-forum internasional, Wanita Katolik mendapat kehormatan untuk menduduki jabatan wakil ketua ataupun ketua komisi. Pada 1993-1998, misalnya, Ibu B. Wiryana ditunjuk menjadi Ketua Komisi Lingkungan Hidup dalam WUCWO (World Union of Catholic Women Organisation).
Pada 1984 Wanita Katolik sudah mencantumkan asas Solidaritas dan Subsidiaritas dalam AD/ART sebagai acuan semangat pengembangan organisasi. Dan pada 1985 mencantumkan Pancasila sebagai dasar organisasi untuk memenuhi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985.
Perkembangan organisasi telah melewati tiga zaman dan mengalami pasang surut. Saat ini disetiap Keuskupan tumbuh dan berkembang Wanita Katolik Republik Indonesia yang berjuang sesuai garis kebijakan bersama dalam kongres-kongres yang diselenggarakan. Di seluruh Keuskupan di Indonesia bergerak aktif 798 cabang Wanita Katolik Republik Indonesia. Dengan cara dan spesifikasinya berjuang di tingkat paroki dan komunitas basis. Melayani dan menjawab kebutuhan Gereja dan masyarakatnya.
Dalam perjuangan senantiasa dapat dirasakan dukungan dalam menghadapi tantangan, baik itu tantangan organisatoris eksternal maupun tantangan internal yang lebih bersifat khas “wanita”. Wanita Katolik Republik Indonesia tidak akan pernah melupakan bahkan senantiasa mengharap bantuan dan dukungan dari semua pihak di kalangan Gereja, baik kaum awam maupun hirarki serta simpatisan yang lain.
Sumber: Situs WKRI, Jejak Langkah Wanita Katolik RI (DPP Wanita Katolik RI)