Kami, Wanita Katolik RI Cabang St. Perawan Maria Ratu Jakarta mendapat undangan dari salah satu anggota Wanita Katolik ke Jogjakarta. Dimana beliau memperingati 1000 hari suami tercintanya dipanggil Bapa ke surga. Pada awal mula banyak anggota yang akan ikut serta ke Jogja akan tetapi karena sesuatu dan lain hal hanya kami bertiga yang bisa berangkat yakni ibu Wiyono, ibu Yayuk dan Barin.


Kami bertolak dari rumah pk. 19.30 karena kereta kami berangkat pk. 21.15 karena takut macet dalam perjalanan ke setasiun. Diiringi dengan hujan lebat kami bertiga diantar anak beserta isteri dan cucu. Pada saat itu ibu Wiyono sedang dalam keadaan tidak sehat, beliau terserang flu. Karena sudah terlanjur janji dengan sahabat kami kalau kami mau datang dengan sangat terpaksa kami tetap berangkat.
Keesokan harinya kira-kira pk. 06.00 kami tiba di setasiun Jogjakarta lalu kami langsung menuju rumah ibu Istijono. Ibu Istijono sangat surprise melihat kami datang karena memang kami sengaja mengatakan bahwa kami tidak bisa memenuhi undangan ibu Istijono karena ibu Wiyono sedang sakit.
Memang sangat aneh kalau di pikir-pikir, tiap kami mengunjungi ibu Istijono ke Jogja ibu Wiyono dalam keadaan kurang sehat demikian juga pada saat kami berkunjung sekarang ini. Jadi ibu Istijono memang percaya bahwa kami pasti tidak datang.
Pada hari itu kami sengaja tidak pergi ke mana-mana mengingat ibu Wiyono sakit, kami mempersiapkan diri untuk misa malam harinya. Setelah kami makan pagi terlebih dahulu dimana kebetulan perut kami memang sudah tidak dapat diajak kompromi lalu kami beranjak ke kamar kami untuk mandi dan beristirahat,
Menjelang sore hari kami bersiap-siap untuk segera berangkat ke gereja untuk ikut dalam Misa Arwah bapak Istijono. Petang hari kami diantar terlebih dahulu ke gereja dalam keadaan hujan rintik-rintik.
Misa Arwah diselenggarakan di aula dimana telah tersusun rapi kursi-kursi yang disediakan untuk para tamu yang datang. Cuaca tidak mendukung. Semakin lama hujan semakin deras. Dalam hati penulis sungguh sangat khawatir bagaimana kalau hujan tidak berhenti pasti tamu undangan banyak yang tidak dapat hadir.
Akan tetapi kekhawatiran penulis tidaklah terjadi, walau dalam keadaan hujan para tamu tetap hadir memenuhi undangan. Kami menoleh ke belakang melihat semua kursi telah penuh ditempati para tamu.
Kira-kira pukul 19.30 misa segera dimulai dipimpin salah satu murid dari romo Eko . Misa tersebut diadakan secara konselebrasi 8 romo. Dengan diiringi hujan deras dan angin yang bertiup dingin misa berjalan dengan penuh hikmat. Pada homili diisi oleh salah satu romo yang menyanyikan kidung dalam bahasa Jawa, dan romo mempersilahkan ibu Istijono untuk maju ke depan. Sambil duduk di kursi romo menyanyikan lagu tersebut dengan suara yang sangat merdu dan syahdu membuat kami yang melihat ikut terbawa suasana haru. Terlebih lagi ibu Istijono tak henti-hentinya mengusap air mata yang jatuh di pipinya.
Setelah selesai misa kami menikmati hidangan yang telah disediakan oleh keluarga ibu Istijono. Setelah selesai semua para tamu berpamitan untuk kembali ke rumah masing-masing sambil mendapat cindera mata dari ibu Istijono.
Pagi harinya kira-kira pukul 08.30 kami bertolak ke Muntilan tempat dimana keluarga bapak Istijono tinggal untuk nantinya akan nyekar ke makam bapak Istijono. Sesampainya di rumah bapak Istijono kembali kami mengikuti misa konselebrasi yang kedua kalinya. Yang kemudian dilanjutkan dengan pemberkatan rumah peninggalan bapak Istijono yang telah dirubah menjadi tempat pertemuan warga yang membutuhkan.
Sekedar informasi bahwa bekas rumah bapak Istijono telah dipugar dan dijadikan Balai Pertemuan Warga. Dimana rumah tersebut dihibahkan oleh keluarga bapak Istijono untuk keperluan warga sekitar yang membutuhkan. Semoga niat baik keluarga bapak Istijino ini dapat berjalan dengan baik dan lancar.
Setelah misa selesai penulis beserta rekan-rekan berpamitan untuk kembali ke Jogjakarta karena apabila ikut dalam acara keluarga ke makam bapak Istijono pasti kami tidak dapat kembali ke Jakarta.
Sebelum kami diantar ke setasiun Jogjakarta kami mampir sebentar di Pasar Bringharjo untuk sekedar mencari oleh-oleh. Sedang penulis khusus ke daerah Patuk ketempat sentra oleh-oleh khas Jogja dibuat yakni bakpia. Setelah selesai kami diantar ke statiun Jogjakarta untuk kembali ke Jakarta.